May 23, 2014

Secret Admirer



asmi.asia - Tak bisakah kau mendengar hatiku yang slalu meneriakkan namamu?
Tak nampakkah pancaran cahaya kagum dimataku?
Yang hanya tertuju padamu
Tak bisakah sedikit saja aku menyentuh hatimu? Merasakan kehangatan yang selalu ku impikan,
Yang sedari dulu ku inginkan...

Aku dan kamu, layaknya bintang dan pohon.
Kamu adalah bintang, berada di langit yang sulit untuk dicapai.
Sedangkan aku, adalah pohon,
yang terus berusaha tumbuh agar bisa mencapai keberadaanmu.
Aku tahu, sekuat apapun, setinggi apapun usaha ku untuk menggapaimu,
 aku tak kan pernah bisa

Aku hanyalah pengagum rahasia,
mencinta dalam diam
Yang hanya mampu menyatakan suka dalam kebisingan
Hanya mampu memandang lama dirimu dalam kegelapan

“Andai rangkaian kata indah itu untukku. Andai saja insan yang kau impikan adalah aku.”

Berat rasanya memendam rasa pada seseorang yang jelas-jelas tidak memiliki rasa yang lebih terhadap kita. Hal itu pula lah yang tengah dialami oleh Dyan. Sebenarnya, Dyan menyukai Dirga, sahabat kecilnya. Tapi sayang, Dirga sudah terlanjur mencintai orang lain. Sakit. Tentu saja sakit yang dirasakan Dyan. Saat rasa sayang sebagai sahabat itu telah berubah menjadi cinta ntah sejak kapan, Dyan hanya mampu diam dan berpura-pura menjadi seorang sahabat biasa bagi Dirga. Namun, akankah Dyan mampu memendam rasa ini selamanya? Ataukah dia akan menyerah saja dan mencoba melupakan Dirga? Hal itulah yang selalu mengganjal dipikirannya. Mungkin memendam rasa lebih tepat. Toh, selama 3 tahun ini dia mampu bertahan meskipun kerap kali merasakan sesak saat mendengar curhatan Dirga tentang seorang yang ia sukai. Seperti malam ini..

“Dyan, aku harus bagaimana? Apa aku kirimkan saja semua puisi yang ku buat untuknya?”

“Hmm sebaiknya kamu nyatakan secara langsung, Ga. Jadi beranilah sedikit, setidaknya kali ini saja demi orang yang kamu cinta.” Jawab Dyan agak ketus. Berusaha memendam rasa cemburu yang seakan membakar hatinya.

“Aku inginnya juga begitu. Tapi.. Aku takut cintaku tak terbalas.”

“Takut..takut.. Dari dulu itu terus alasanmu. Penakut kamu, Ga! Masa hanya menyatakan begitu saja kamu ga berani?!” Dyan mulai emosi. Rasa sesak yang semakin memuncak di dadanya memaksa ia untuk berlaku demikian.

“Ya.. Kamu tau sendiri kan kalo aku.. aku..”

“Apa? Kamu pengecut? Oh jelas.. aku sudah tau itu dari dulu!” Dyan memalingkan wajah. Matanya sudah berkaca-kaca, siap untuk menerjunkan tetesan air dari matanya yang bulat.

“Dyan.. Maaf kalo aku udah bikin kamu kesal.” Ucap Dirga pelan sambil menyentuh bahu Dyan. Dyan menepisnya. Dirga jadi agak ngeri juga melihat tingkah Dyan yang tidak seperti biasanya itu.
Dyan tetap bergeming. Mencoba menahan agar air itu tak menetes. Tidak jika di hadapan Dirga.
 ‘Maafin aku, Ga. Aku ga bermaksud bicara seperti itu sama kamu. Aku.. Aku terlalu menyayangimu.’ Ucap Dyan dalam hati.


***

Pagi yang cerah di Kota Khatulistiwa, Pontianak. Sayangnya tak secerah wajah Dyan. Tadi malam, sepulangnya dari rumah Dirga, Dyan telah ditunggu-tunggu oleh sang mama untuk membicarakan satu hal yang sangat penting untuk masa depannya. Satu hal yang ternyata malah menambah beban pikiran gadis manis ini.
FLASHBACK...
Dyan pulang meninggalkan Dirga yang masih bingung dengan tingkah sahabatnya begitu saja. Dyan tak lagi kuat jika harus berlama-lama mendengarkan curhatan tentang “bidadari”nya Dirga. Dia tak ingin Dirga tahu bahwa dia cemburu! Bahwa dia menyayanginya! Biarlah Dirga menganggapnya telah bosan mendengar curhatan tentang “bidadari” itu. Ya siapa tau saja dengan begitu Dirga akan berhenti berbicara tentangnya. Sahabat yang jahat? Terserah sajalah toh sekarang ini Dyan menginginkan hubungan yang lebih daripada sahabat... Tanpa disadari, ternyata cinta telah berhasil membuat seorang Dyan yang penyayang menjadi egois.
Di rumah..
“Yan, cepatlah ke ruang keluarga! Mama telah menunggumu dari tadi.” Kata Aila, kakak Dyan, ketika Dyan hendak masuk ke kamar.

“Ada apa Kak? Dyan lelah, mau tidur dulu.” Dyan membuka kunci pintu kamar dan hendak masuk kalausaja tak ada sepasang tangan yang mencegahnya.

“Temui saja dulu sebentar, sepertinya ada hal penting yang ingin mama bicarakan padamu.”

Mau tidak mau Dyan pun menuruti perintah kakaknya. Dengan langkah malas, ia berjalan menuju ruang keluarga di lantai bawah.

“Ada apa Ma? Kata kak Aila mama ingin bicara denganku.” tanya Dyan sembari duduk di kursi yang berada di hadapan mamanya.

“Hmm begini Dyan, sebentar lagi kan kamu ujian akhir. Mama ingin kamu melanjutkan kuliah di Inggris. Bagaimana?”

“Di Inggris Ma? Apa tidak terlalu jauh?” Dyan kaget. Tak menyangka mama akan tega menyuruhnya melanjutkan kuliah di luar negri.

“Ya, lumayan lah daripada mama suruh kamu kuliah di kutub sana.” Jawab mama dengan senyum yang sulit diartikan.

“Hmm nanti Dyan pikir-pikir dulu ya Ma.” Balas Dyan lesu. “Dyan ke kamar dulu, capek.” Mama mengangguk. Tapi baru selangkah Dyan berjalan, Mama berbicara lagi. Membuat Dyan terpaksa menghentikan langkahnya.

“Mikirnya jangan kelamaan. Selesai ujian nanti mama ingin kamu segera memberi keputusan. Mama berharap kamu tak menolak keinginan mama. Ini demi masa depanmu juga Dyan.” Kata Mama lembut.

“Hmm iya ma..” Dyan melanjutkan jalannya menuju ke kamar.
FLASHBACK END
Dyan merasa dunia ini tak adil. Kenapa selalu memaksa ia memilih satu diantara 2 pilihan yang berat? Eh, bukankah emang ga ada yang adil di dunia ini? Keadilan itu hanya milik Tuhan!

Dyan merasakan kepalanya berdeyut. Pusing. Mungkin kelelahan memikirkan apa yang harus ia lakukan. Dyan memutuskan untuk mandi. Mungkin hal ini bisa membantu menyegarkan pikirannya.


***

Manis wajahmu selalu membayangi pikiranku

Senyum tulus yang memukau,
S’lalu terukir diingatanku
Akankah kau menjadi milikku?
Menjadi permaisuriku?
Bukan sekedar seorang yang berdiri di sampingku..


Tapi, bolehkah seorang penjaga menjadi raja?
Wajarkah aku memendam rasa?
Cinta.. Cinta..
Cinta t’lah membuatku menjadi gila
Menginginkan hal yang lebih manis daripada gula..


I love you D...

#Dirga



***

Satu lagi puisi yang berhasil ia ciptakan. Namun, akankah puisi itu bisa tersampaikan pada insan yang dimaksud? Atau hanya akan menjadi tumpukan kata di kotak rahasianya?

Dirga tengah duduk di meja belajarnya. Ia bingung. Sepertinya akhir-akhir ini Dyan sengaja menghindar darinya. Di sekolah, selalu kabur. Ditelpon, ga dijawab. Disms apalagi!

“Apa aku harus berkunjung ke rumah Dyan? Sudah lama juga aku tak ke sana. Eh, tapi tunggu.. sepertinya akan sia-sia. Dyan pasti keukeuh tak ingin menemuiku. Dyan itu agak keras kepala.” Ucap Dirga ntah pada siapa. “Mungkin saja sekarang Dyan memang lagi ingin sendiri. Toh sebentar lagi kan ujian akhir. Mungkin Dyan ingin konsen belajar. Ya, mungkin...” Dirga mencoba berpikir positif terhadap sahabatnya itu.

***

Ujian akhir telah usai. Sesuai dengan kesepakatan Dyan dan mamanya, Dyan akan memberikan keputusannya hari ini.

“Jadi gimana yan? Apa keputusanmu?” tanya Mama lembut.

“Hmm” Dyan meremas jari-jarinya. “Hmm Dyan.. Dyan akan menuruti kemauan Mama. Meski berat buat Dyan harus pisah sama Papa, Mama, dan Kak Aila..” ‘terutama sama kamu Dirga’ sambungnya dalam hati.

“Oh Dyan.. kamu memang anak Mama yang pinter.” Mama memeluk Dyan. Dyan tak membalas. Terus terang dia masih ragu dengan keputusannya. Dirga yang menjadi satu-satunya harapan untuk bisa mencegah keputusannya itu juga sudah tak kelihatan batang hidungnya semenjak ujian akhir. Dyan takut tak bisa bertemu Dirga sebelum keberangkatannya ke Inggris 2 hari lagi. Telpon? Dyan gengsi! Dia yang telah mengacuhkan Dirga duluan masa harus menghubunginya terlebih dahulu? Tapi bukankah seharusnya memang begitu? Dasar cewek..

DI SKIP...!!

***

Hari keberangkatan Dyan pun tiba. Dirga masih juga tak menampakkan batang hidungnya. Dengan langkah berat, Dyan menarik kopernya turun dari taksi menuju bandara.

“Ma, Kak Aila.. Dyan berangkat dulu ya. Doa’in Dyan semoga Dyan bisa cepat menyelesaikan kuliah di sana dan bertemu lagi dengan kalian beberapa tahun lagi.” Dyan memeluk erat mama dan kakaknya secara bergantian. Papa yang akan mengantarkan Dyan ke Inggris.

“Iya Dyan. Mama yakin kamu pasti bisa. Mama dan kakakmu akan sering-sering menelpon. Kalau lagi libur, kami akan mengunjungimu di sana.” Aila mengangguk, mengiyakan perkataan Mamanya. Mama mengusap-usap kepala Dyan. Lalu mengecup pipi kanan dan kirinya secara bergantian. Berat baginya untuk melepaskan kepergian Dyan. Tapi ini demi masa depan putrinya.

“Iya Ma. Oh iya Kak, ingat perjanjian kita semalam ya.. Jangan kasi tau ‘dia’. Dyan pamit semua.”

Aila mengangguk. ‘Pasti.. kakak pasti akan menepati janji. Kakak ga mau kamu semakin tersakiti.’ Ucapnya dalam hati. Papa dan Dyan meninggalkan Aila dan Mama yang daritadi masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Barulah saat pesawat yang dinaiki papa dan Dyan lepas landas, mereka pulang.
***

Malam harinya..

Ting tong...

Bel berbunyi di rumah Dyan. Aila, yang sedang menonton tv segera menuju ke depan untuk membuka pintu. Aila kaget. Dirga -yang kata Dyan sudah beberapa minggu ini tak menampakkan diri- datang dengan membawa seikat bunga.

“Selamat malam kak. Bisa saya bertemu dengan Dyan?” ucap Dirga ramah.

“Hmm.. masuk dulu Ga. Ada yang perlu kakak bicarakan padamu.”

Dirga mengikuti kak Aila menuju ruang tamu dan duduk di salah satu sofa.

“Hmm begini Ga.” Aila menarik napas. Dia memikirkan kata-kata yang lebih halus daripada ‘Dyan telah meninggalkan Indonesia’ agar Dirga tidak terlalu terkejut.

“Ada apa kak?” tanya Dirga penasaran. Terus terang saja sekarang perasaannya mulai tidak enak.

“Hmm.. Dyan.. Dyan melanjutkan kuliahnya di Inggris. Dan dia sudah berangkat tadi pagi.”

“Hah? Kakak serius?” Dirga kaget. Badannya lemas. Sampai-sampai bunga yang dipegangnya jatuh begitu saja ke lantai. “Tapi.. Dyan belum pamit sama aku kak. Dia juga ga bilang kalo mau kuliah di luar negri.” Ucap Dirga pelan. Dia masih tak menyangka kalau sahabatnya itu tega pergi begitu saja.
“Dyan mungkin terlalu takut untuk bilang sama kamu. Dia juga pasti ga ingin pisah sama kamu. Percaya sama kakak. Beberapa tahun lagi kalian pasti bertemu kembali.”
“Hmm yasudahlah kak. Tapi, kalo boleh aku minta nomor telponnya di sana, bisa?”
“Hmm maaf Ga. Bukannya ga boleh. Tapi kakak harap kamu ngerti kalo Dyan ke sana untuk fokus belajar. Jadi untuk sementara ini Dyan tidak bisa dihubungi.” Ucap Aila yang tentu saja dengan sedikit bumbu kebohongan.
“Iya kak aku ngerti.” Balas Dirga lemas. “Aku pamit dulu kak. Oh iya ini bunganya buat kakak saja maaf rangkaiannya udah kurang rapi.” Pamit Dirga sembari memberikan seikat bunga yang sempat terjatuh tadi.


***


#Dirga

Tiga tahun tlah berlalu.. Kemana senyum indah itu? Kemana tawa yang selalu memaksaku untuk ikut tertawa bersamamu?

Candamu, nasehatmu, wajahmu.. Aku merindukan semua itu

Merindukan kebersamaan kita.. Aku.. Aku menyayangimu Dyan..

Menyayangimu lebih dari sekedar sahabat.

Sampai saat ini, hati ini masih memuja dirimu..



Tak merasakah kau bahwa setiap kata-kata yang kurangkai itu tertuju padamu?
Hanya untukmu seorang, Dyan..
Aku memang lemah, terlalu takut untuk menerima kenyataan yang belum pasti terjadi

Aku pernah bilang padamu bahwa aku mulai mencintai seorang gadis

Seorang gadis yang memiliki senyum memukau, mata yang indah, seperti bidadari

Namun sulit untuk ku gapai

Karna dia itu KAMU! Kamu sahabatku!

Aku tahu, tak pantas untukku mencintaimu.

Aku hanya sahabatmu, dan sepertinya takdir sudah menetapkan sampai disitu

Tapi salahkah bila cinta ini menolak? Menolak takdir yang harusnya kuterima
Hati ini, raga ini, terus memaksa agar aku harus memiliki!


***


Hari ini hari kepulangan Dyan dari London, Inggris. Papa, Mama, dan Aila sedari tadi telah menunggu kedatangan Dyan di rumah. Mereka tak sabar ingin melihat penampilan putrinya yang tentu saja akan terlihat lebih dewasa dari 1 tahun yang lalu saat mereka mengunjunginya di sana. Dyan sengaja tak ingin dijemput. Dia hanya mengatakan akan tiba bersama seorang teman spesial yang harus ia kenalkan pada keluarganya.

Suhu ‘khas’ Kota Khatulistiwa langsung menyapa kulit putih seorang gadis cantik begitu ia keluar dari taksi yang membawanya dari bandara Supadio. Bersama dengan seorang pria tampan yang menggandeng tangan dan membantu membawakan kopernya, ia berjalan layaknya seorang model yang begitu mempesona. Sudah lama rasanya ia tak melihat istana yang tinggal beberapa langkah lagi akan dimasukinya itu. Istana tempatnya tumbuh bersama keluarga tercinta. Istana yang menyimpan semua kenangan yang hingga sekarang masih melekat diingatan. Namun, ada juga beberapa kenangan yang sengaja ia lupakan. Bukan karena trauma, hanya saja ia tak ingin terus-terusan hidup dengan dibayangi masa lalu yang menyakitkan.
“Papa.. Mama.. Kak Ailaa.. I’m coming..” serunya dengan senyum yang mengembang begitu membuka pintu.

“Dyan..” Mama berdiri. Dyan langsung menghambur kepelukan mamanya. Dilanjutkan dengan cipika-cipiki, lalu memeluk Papa dan Aila secara bergantian.

“Ehhm.” Terdengar deheman pelan dari seorang pemuda yang tengah berdiri di depan pintu. Menyaksikan sang gadis, kekasihnya, menguapkan rasa rindu pada keluarga.

Dyan berbalik. Menuju ke arah pemuda itu lalu menggandengnya mendekati Papa, Mama, dan Aila yang sedang tersenyum ramah, tapi juga diselingi seyum jahil.

“Pa, Ma, Kak, kenalin ini Ray. Dia hmm pacar Dyan.” Pipinya memerah saat menyebutkan kata ‘pacar’. “Dia orang Balikpapan, temen Dyan kuliah.”

“Saya Rayka Dwinara, panggil saja saya Ray.” Ucap Ray –kekasih Dyan- ramah sembari menyalami satu-persatu anggota keluarga Dyan.

Ray, seorang pemuda yang humoris, sepertinya akan cepat akrab dengan keluarga Dyan. Apalagi keluarganya memberikan ‘sinyal positif’ mengenai hubungan mereka.
***

Ting tong...

Bel rumah berbunyi tepat saat keluarga Dyan, Dyan, dan tentunya Ray sedang berada di halaman belakang. Tengah menikmati teh dan makanan ringan sambil mengobrol. Bi Inah, pembantu rumah Dyan lah yang membuka pintu.

“Eh nak Dirga. Sudah lama tidak melihat nak Dirga.”

“Iya Bi, Dirga sibuk ngurusin tugas kuliah sama bikin novel.”

“Wah, bibi pernah baca loh novelnya nak Dirga. Keren.. foto nak Dirga di sampul belakang novelnya juga lawaarr..

“Yah bibi bisa aja, itu biasa aja bi.” Jawab Dirga sambil tersenyum.

“Eh iya sih nak Dirga kan emang udah lawar dari lahir haha. Oh iya bibi lupa. Maaf, silahkan masuk. Pasti mau ketemu sama mbak Dyan ya?”

“Hehe iya Bi. Bibi tau aja. Kemarin kak Aila sms katanya Dyan akan tiba hari ini makanya saya ke sini.”
“Ciyee.. kangen ya sama mbak Dyan?” Dirga hanya membalas dengan senyuman. Tanpa disadari, semburat merah tercetak jelas di pipinya yang putih. Bi Inah hanya senyum-senyum jahil. ‘Dasar anak muda maskaran eh kasmaran’ pikirnya.
Bi Inah mempersilahkan Dirga duduk di ruang tamu.

“Mbak Dyan nya lagi di halaman belakang. Nak Dirga mau menyusul atau menunggu di sini saja biar Mbak Dyan nya bibi yang panggilin?”

“Hmm.. Biar saya saja yang ke sana. Sekalian mau ngasi kejutan buat Dyan.” Dirga tersenyum lalu berjalan menuju halaman belakang. Hatinya tak berhenti berdegup kencang. Dia penasaran bagaimana penampilan Dyan sekarang. Tambah cantikkah? Ah itu sih pasti. Tangannya merogoh saku, mencari sekotak hadiah yang akan menjadi simbol pengakuan cintanya malam ini. Hal ini telah dipersiapkannya sejak lama. Kali ini dia tak akan menjadi seorang Dirga yang pengecut lagi. Sudah lama ia menanti-nanti kesempatan ini. Hari ini, tepatnya malam ini, semuanya akan jelas. Rahasianya akan terbongkar.

‘Segala sesuatu kadang tak terjadi sesuai dengan harapan. Jika takdir sudah menentukan jalannya, tak akan ada yang bisa merubahnya.’
Tinggal selangkah lagi, saat menuju pintu yang membatasi dapur dengan halaman belakang, tiba-tiba pintu itu terbuka. Ternyata Dyan! Dia hendak mengambil minuman di lemari es. Sama seperti Dirga, Dyan tak kalah kagetnya. Oh Tuhan.. sudah berapa lama ia tak berjumpa dengan sahabat yang pernah menguasai hatinya itu. Dirga maupun Dyan saling menatap tanpa mengucap sepatah katapun. Ingin sekali Dirga langsung mendekap tubuh sang pemilik hatinya. Tapi tubuhnya kaku. Tak mampu bergerak apalagi berbicara saking gugupnya. Dyan cantik sekali! Darahnya mendesir deras dipacu sang jantung yang semakin berdegup kencang. Barulah beberapa menit kemudian, saat ia dan Dyan mulai menguasai diri, keduanya mulai membuka suara.
“Dyan..” “Dirga..” keduanya bicara bersamaan. Dirga menggaruk tengkuknya. Canggung sekali bicara dengan seseorang yang sudah lama tak bertatap muka. Apalagi seseorang itu adalah orang yang dicinta.
“Hmm Dirga, apa kabar?” Dyan tersenyum manis. Tanpa sadar senyuman itu membuat Dirga kembali terpesona.

“Hmm aku.. aku baik, kamu gimana?” balasnya dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Gugup.

“Aku juga baik. Sudah lama yaa.. jadi canggung gini hehe.”

“Hmm iya Yan, sudah 3 tahun kita ga ketemu.”

“Iya lama..” ‘untunglah 3 tahun itu cukup untukku menghapus perasaan itu, Ga.’ Sambung Dyan dalam hati. “Oh iya ayo ke halaman belakang. Papa, Mama, dan Kak  Aila juga ada di sana. Sekalian ada yang ingin ku kenalkan.” Dyan menggandeng tangan sahabatnya. Dirga yang mulanya kaget, mencoba biasa saja dengan perlakuan Dyan. Tapi hatinya tetap tak bisa dibohongi. Dia tentu saja senang sekali!

Begitu di halaman belakang, Dirga disambut ramah –seperti biasa- oleh keluarga Dyan, tak terkecuali seorang pemuda yang tadinya tengah mengobrol bersama Aila. ‘Mungkin itu pacarnya Aila’ pikir Dirga.
Setelah menyalami Papa dan Mama Dyan, Dyan mengajak Dirga berkenalan dengan pemuda tadi.

“Ray, sini. Kenalan dulu sama Dirga.” Ucap Dyan manis yang dibalas dengan senyuman yang tak kalah manisnya oleh Ray. Ray menghampiri Dirga yang berdiri di samping Dyan.

“Ray, ini Dirga Prasetya, sahabatku.”

“Oh jadi ini sahabat yang selalu kamu ceritakan padaku dulu?” tanya Ray dengan nada menggoda sambil mengedipkan sebelah matanya. Dyan yang merasa malu menginjak pelan kaki kekasihnya itu. Awas saja kalau Ray berani bilang bahwa Dyan dulu pernah menyimpan rasa pada Dirga. Ya dulu.. karna sekarang hatinya hanya milik Ray seorang.

“Ehmm” Dyan tak menggubris pertanyaan Ray yang sudah jelas tanpa ia jawab pun Ray telah mengetahuinya. “Jangan dengerin omongan Ray, Ga. Oh iya Dirga, si rambut landak ini Ray. Rayka Dwinara.” Ray dan Dirga berjabat tangan.
“Jangan dengerin nenek sihir ini, Ga. Masa gaya rambut keren gini dibilang rambut landak, ya ga, Ga? Haha.” Ray mengacak pelan rambut Dyan. Dyan memasang wajah cemberut. Dirga yang masih belum mengetahui hubungan kedua insan itu ikut hanyut dalam candaan Ray. Namun, walaupun wajahnya tertawa, hatinya tidak! Hatinya cemburu melihat Dyan dekat sekali dengan pemuda itu.
“Udah becandanya. Ayo kita makan malam dulu.” Ajak papa Dyan. “Oh iya Ray, kamu nginap di sini saja malam ini. Besok-besok saja baru cari hotel.”

“Eh iya om, kalo tidak merepotkan sih boleh saja. Apalagi kalo boleh sekamar sama anak om yang cerewet ini.” Canda Ray yang disambut jitakan Dyan di kepalanya.

“Enak aja. Nikahin dulu kalo mau sekamar.” Dyan memeletkan lidahnya. Dirga yang sedari tadi menyaksikan kedua orang itu mulai merasa ada yang tidak beres. Hatinya sekarang benar-benar terbakar api cemburu. Sebenarnya apa hubungan Dyan dan Ray? Hatinya terus bertanya.

“Yaelaah.. Mentang-mentang bentar lagi tunangan udah mulai ngomongin kamar.” Celetuk Aila. Ray dan Dyan terdiam dengan semburat merah di pipi masing-masing. Berbeda dengan Dirga yang mulai paham apa maksud Aila. Bagai tersambar petir, hatinya sakit! Pedih! mengetahui kenyataan bahwa sang pujaan hati tlah dimiliki orang lain membuat hati bahkan tubuhnya seakan hancur berkeping-keping. Inikah akhir dari semua ini? Haruskah rasa yang akan disampaikannya malam ini tertunda atau bahkan tak perlu disampaikannya lagi?

Lututnya melemas. Jika tak ada Dyan dan keluarganya mungkin dia akan membiarkan dirinya terjatuh begitu saja dilantai ubin keras itu. ‘aku harus kuat.. Ya aku harus kuat’ ucapnya berkali-kali. Dalam hati tentunya.

Setelah beberpa menit akhirnya Dirga mulai bisa menguasai diri. Aliran darah dan pacuan jantungnya mulai kembali normal. Tapi tidak dengan hatinya yang sudah terlanjur hancur!

Dengan sekuat tenaga Dirga berusaha menyembunyikan raut sedihnya. Mencoba menjadi seorang Dirga yang tegar. Setelah makan malam Dirga pun pamit pulang dengan membawa cinta yang tak bisa tersampaikan. Ditambah lagi dengan rasa sakit yang menyesakkan.

Tuhan telah menggariskan takdir bagi tiap umat-Nya. Mungkin inilah yang terbaik untuk Dirga, Dyan, dan Ray. Takdir adalah ketetapan yang tak mungkin bisa diubah oleh siapapun kecuali penentu takdir itu sendiri, Tuhan. Dirga pasrah. Dia tak mungkin merebut Dyan dari Ray. Tidak! Dia memang tak boleh melakukan itu, memisahkan kedua insan yang telah digariskan untuk bersatu. Selama ini Dirga hanya mampu menjadi pengagum rahasia. Biarlah perasaan itu ia simpan. Biarlah hanya dia dan Tuhan yang tahu. Dirga percaya, suatu saat nanti pasti ada seseorang yang telah digariskan untuk bersamanya hadir dalam kehidupannya. Seperti Ray yang telah hadir dalam kehidupan Dyan.
Cinta telah mengajarkan satu hal lagi pada mereka. PENGORBANAN. Pelajaran yang sangat berharga bagi mereka, bagi semua insan yang pernah merasakan jatuh cinta. Bagaimana cinta mengajarkan harus berkorban demi seseorang yang disayang, dan dengan cinta juga seseorang belajar bahwa tak selamanya cinta harus memiliki. Semua sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, penguasa hati setiap insan.

===TAMAT===


Artikel Terkait

Secret Admirer
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email

4 comments

July 04, 2014 delete

Ciye :3
Ini toh ceritanya si Key

Reply
avatar
July 04, 2014 delete

iya.. key a.k.a dessy :D

Reply
avatar
July 05, 2014 delete

Om, ini template blognya bikin sendiri?

Reply
avatar
July 05, 2014 delete

Egk.. Ini di desain oleh Kang Mousir. Ada tuh credit nya dibagian paling bawah blog :)

Reply
avatar