asmi.asia - Tak
bisakah kau mendengar hatiku yang slalu meneriakkan namamu?
Tak
nampakkah pancaran cahaya kagum dimataku?
Yang
hanya tertuju padamu
Tak
bisakah sedikit saja aku menyentuh hatimu? Merasakan kehangatan yang selalu ku
impikan,
Yang
sedari dulu ku inginkan...
Aku
dan kamu, layaknya bintang dan pohon.
Kamu
adalah bintang, berada di langit yang sulit untuk dicapai.
Sedangkan
aku, adalah pohon,
yang
terus berusaha tumbuh agar bisa mencapai keberadaanmu.
Aku
tahu, sekuat apapun, setinggi apapun usaha ku untuk menggapaimu,
aku tak kan pernah bisa
Aku
hanyalah pengagum rahasia,
mencinta
dalam diam
Yang
hanya mampu menyatakan suka dalam kebisingan
Hanya
mampu memandang lama dirimu dalam kegelapan
“Andai rangkaian kata indah itu untukku. Andai saja
insan yang kau impikan adalah aku.”
Berat rasanya memendam rasa pada seseorang yang jelas-jelas tidak memiliki rasa
yang lebih terhadap kita. Hal itu pula lah yang tengah dialami oleh Dyan.
Sebenarnya, Dyan menyukai Dirga, sahabat kecilnya. Tapi sayang, Dirga sudah
terlanjur mencintai orang lain. Sakit. Tentu saja sakit yang dirasakan Dyan.
Saat rasa sayang sebagai sahabat itu telah berubah menjadi cinta ntah sejak
kapan, Dyan hanya mampu diam dan berpura-pura menjadi seorang sahabat biasa
bagi Dirga. Namun, akankah Dyan mampu memendam rasa ini selamanya? Ataukah dia
akan menyerah saja dan mencoba melupakan Dirga? Hal itulah yang selalu
mengganjal dipikirannya. Mungkin memendam rasa lebih tepat. Toh, selama 3 tahun
ini dia mampu bertahan meskipun kerap kali merasakan sesak saat mendengar
curhatan Dirga tentang seorang yang ia sukai. Seperti malam ini..
“Dyan, aku harus bagaimana? Apa aku kirimkan saja
semua puisi yang ku buat untuknya?”
“Hmm sebaiknya kamu nyatakan secara langsung, Ga. Jadi beranilah sedikit,
setidaknya kali ini saja demi orang yang kamu cinta.” Jawab Dyan agak ketus.
Berusaha memendam rasa cemburu yang seakan membakar hatinya.
“Aku inginnya juga begitu. Tapi.. Aku takut cintaku tak terbalas.”
“Takut..takut.. Dari dulu itu terus alasanmu. Penakut kamu, Ga! Masa hanya
menyatakan begitu saja kamu ga berani?!” Dyan mulai emosi. Rasa sesak yang
semakin memuncak di dadanya memaksa ia untuk berlaku demikian.
“Ya.. Kamu tau sendiri kan kalo aku.. aku..”
“Apa? Kamu pengecut? Oh jelas.. aku sudah tau itu dari dulu!” Dyan memalingkan
wajah. Matanya sudah berkaca-kaca, siap untuk menerjunkan tetesan air dari
matanya yang bulat.
“Dyan.. Maaf kalo aku udah bikin kamu kesal.” Ucap Dirga pelan sambil menyentuh
bahu Dyan. Dyan menepisnya. Dirga jadi agak ngeri juga melihat tingkah Dyan
yang tidak seperti biasanya itu.
Dyan tetap bergeming. Mencoba menahan agar air itu tak menetes. Tidak jika di
hadapan Dirga.
‘Maafin aku, Ga. Aku ga bermaksud bicara
seperti itu sama kamu. Aku.. Aku terlalu menyayangimu.’ Ucap Dyan dalam hati.
***
Pagi yang cerah di Kota Khatulistiwa, Pontianak.
Sayangnya tak secerah wajah Dyan. Tadi malam, sepulangnya dari rumah Dirga,
Dyan telah ditunggu-tunggu oleh sang mama untuk membicarakan satu hal yang
sangat penting untuk masa depannya. Satu hal yang ternyata malah menambah beban
pikiran gadis manis ini.
FLASHBACK...
Dyan pulang meninggalkan Dirga yang masih bingung
dengan tingkah sahabatnya begitu saja. Dyan tak lagi kuat jika harus
berlama-lama mendengarkan curhatan tentang “bidadari”nya Dirga. Dia tak ingin
Dirga tahu bahwa dia cemburu! Bahwa dia menyayanginya! Biarlah Dirga
menganggapnya telah bosan mendengar curhatan tentang “bidadari” itu. Ya siapa
tau saja dengan begitu Dirga akan berhenti berbicara tentangnya. Sahabat yang
jahat? Terserah sajalah toh sekarang ini Dyan menginginkan hubungan yang lebih
daripada sahabat... Tanpa disadari, ternyata cinta telah berhasil membuat
seorang Dyan yang penyayang menjadi egois.
Di
rumah..
“Yan, cepatlah ke ruang keluarga! Mama telah menunggumu
dari tadi.” Kata Aila, kakak Dyan, ketika Dyan hendak masuk ke kamar.
“Ada apa Kak? Dyan lelah, mau tidur dulu.” Dyan membuka kunci pintu kamar dan
hendak masuk kalausaja tak ada sepasang tangan yang mencegahnya.
“Temui saja dulu sebentar, sepertinya ada hal penting yang ingin mama bicarakan
padamu.”
Mau tidak mau Dyan pun menuruti perintah kakaknya. Dengan langkah malas, ia
berjalan menuju ruang keluarga di lantai bawah.
“Ada apa Ma? Kata kak Aila mama ingin bicara
denganku.” tanya Dyan sembari duduk di kursi yang berada di hadapan mamanya.
“Hmm begini Dyan, sebentar lagi kan kamu ujian akhir. Mama ingin kamu
melanjutkan kuliah di Inggris. Bagaimana?”
“Di Inggris Ma? Apa tidak terlalu jauh?” Dyan kaget. Tak menyangka mama akan
tega menyuruhnya melanjutkan kuliah di luar negri.
“Ya, lumayan lah daripada mama suruh kamu kuliah di kutub sana.” Jawab mama
dengan senyum yang sulit diartikan.
“Hmm nanti Dyan pikir-pikir dulu ya Ma.” Balas Dyan lesu. “Dyan ke kamar dulu,
capek.” Mama mengangguk. Tapi baru selangkah Dyan berjalan, Mama berbicara
lagi. Membuat Dyan terpaksa menghentikan langkahnya.
“Mikirnya jangan kelamaan. Selesai ujian nanti mama ingin kamu segera memberi
keputusan. Mama berharap kamu tak menolak keinginan mama. Ini demi masa depanmu
juga Dyan.” Kata Mama lembut.
“Hmm iya ma..” Dyan melanjutkan jalannya menuju ke kamar.
FLASHBACK
END
Dyan merasa dunia ini tak adil. Kenapa selalu
memaksa ia memilih satu diantara 2 pilihan yang berat? Eh, bukankah emang ga
ada yang adil di dunia ini? Keadilan itu hanya milik Tuhan!
Dyan merasakan kepalanya berdeyut. Pusing. Mungkin kelelahan memikirkan apa
yang harus ia lakukan. Dyan memutuskan untuk mandi. Mungkin hal ini bisa
membantu menyegarkan pikirannya.
***
Manis wajahmu selalu membayangi pikiranku
Senyum
tulus yang memukau,
S’lalu
terukir diingatanku
Akankah
kau menjadi milikku?
Menjadi
permaisuriku?
Bukan
sekedar seorang yang berdiri di sampingku..
Tapi,
bolehkah seorang penjaga menjadi raja?
Wajarkah
aku memendam rasa?
Cinta..
Cinta..
Cinta
t’lah membuatku menjadi gila
Menginginkan
hal yang lebih manis daripada gula..
I love you D...
#Dirga
***
Satu lagi puisi yang berhasil ia ciptakan. Namun,
akankah puisi itu bisa tersampaikan pada insan yang dimaksud? Atau hanya akan
menjadi tumpukan kata di kotak rahasianya?
Dirga tengah duduk di meja belajarnya. Ia bingung. Sepertinya akhir-akhir ini
Dyan sengaja menghindar darinya. Di sekolah, selalu kabur. Ditelpon, ga
dijawab. Disms apalagi!
“Apa aku harus berkunjung ke rumah Dyan? Sudah lama juga aku tak ke sana. Eh,
tapi tunggu.. sepertinya akan sia-sia. Dyan pasti keukeuh tak ingin menemuiku.
Dyan itu agak keras kepala.” Ucap Dirga ntah pada siapa. “Mungkin saja sekarang
Dyan memang lagi ingin sendiri. Toh sebentar lagi kan ujian akhir. Mungkin Dyan
ingin konsen belajar. Ya, mungkin...” Dirga mencoba berpikir positif terhadap
sahabatnya itu.
***
Ujian akhir telah usai. Sesuai dengan kesepakatan Dyan dan mamanya, Dyan akan
memberikan keputusannya hari ini.
“Jadi gimana yan? Apa keputusanmu?” tanya Mama lembut.
“Hmm” Dyan meremas jari-jarinya. “Hmm Dyan.. Dyan akan menuruti kemauan Mama.
Meski berat buat Dyan harus pisah sama Papa, Mama, dan Kak Aila..” ‘terutama
sama kamu Dirga’ sambungnya dalam hati.
“Oh Dyan.. kamu memang anak Mama yang pinter.” Mama memeluk Dyan. Dyan tak
membalas. Terus terang dia masih ragu dengan keputusannya. Dirga yang menjadi
satu-satunya harapan untuk bisa mencegah keputusannya itu juga sudah tak
kelihatan batang hidungnya semenjak ujian akhir. Dyan takut tak bisa bertemu
Dirga sebelum keberangkatannya ke Inggris 2 hari lagi. Telpon? Dyan gengsi! Dia
yang telah mengacuhkan Dirga duluan masa harus menghubunginya terlebih dahulu?
Tapi bukankah seharusnya memang begitu? Dasar cewek..
DI
SKIP...!!
***
Hari keberangkatan Dyan pun tiba. Dirga masih juga tak menampakkan batang
hidungnya. Dengan langkah berat, Dyan menarik kopernya turun dari taksi menuju
bandara.
“Ma, Kak Aila.. Dyan berangkat dulu ya. Doa’in Dyan semoga Dyan bisa cepat
menyelesaikan kuliah di sana dan bertemu lagi dengan kalian beberapa tahun
lagi.” Dyan memeluk erat mama dan kakaknya secara bergantian. Papa yang akan
mengantarkan Dyan ke Inggris.
“Iya Dyan. Mama yakin kamu pasti bisa. Mama dan kakakmu akan sering-sering
menelpon. Kalau lagi libur, kami akan mengunjungimu di sana.” Aila mengangguk,
mengiyakan perkataan Mamanya. Mama mengusap-usap kepala Dyan. Lalu mengecup
pipi kanan dan kirinya secara bergantian. Berat baginya untuk melepaskan
kepergian Dyan. Tapi ini demi masa depan putrinya.
“Iya Ma. Oh iya Kak, ingat perjanjian kita semalam ya.. Jangan kasi tau ‘dia’.
Dyan pamit semua.”
Aila mengangguk. ‘Pasti.. kakak pasti akan menepati janji. Kakak ga mau kamu
semakin tersakiti.’ Ucapnya dalam hati. Papa dan Dyan meninggalkan Aila dan
Mama yang daritadi masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Barulah saat
pesawat yang dinaiki papa dan Dyan lepas landas, mereka pulang.
***
Malam harinya..
Ting tong...
Bel berbunyi di rumah Dyan. Aila, yang sedang menonton tv segera menuju ke
depan untuk membuka pintu. Aila kaget. Dirga -yang kata Dyan sudah beberapa
minggu ini tak menampakkan diri- datang dengan membawa seikat bunga.
“Selamat malam kak. Bisa saya bertemu dengan Dyan?”
ucap Dirga ramah.
“Hmm.. masuk dulu Ga. Ada yang perlu kakak bicarakan padamu.”
Dirga mengikuti kak Aila menuju ruang tamu dan duduk di salah satu sofa.
“Hmm begini Ga.” Aila menarik napas. Dia memikirkan kata-kata yang lebih halus
daripada ‘Dyan telah meninggalkan Indonesia’ agar Dirga tidak terlalu terkejut.
“Ada apa kak?” tanya Dirga penasaran. Terus terang saja sekarang perasaannya
mulai tidak enak.
“Hmm.. Dyan.. Dyan melanjutkan kuliahnya di Inggris. Dan dia sudah berangkat
tadi pagi.”
“Hah? Kakak serius?” Dirga kaget. Badannya lemas. Sampai-sampai bunga yang
dipegangnya jatuh begitu saja ke lantai. “Tapi.. Dyan belum pamit sama aku kak.
Dia juga ga bilang kalo mau kuliah di luar negri.” Ucap Dirga pelan. Dia masih
tak menyangka kalau sahabatnya itu tega pergi begitu saja.
“Dyan mungkin terlalu takut untuk bilang sama kamu. Dia juga pasti ga ingin pisah
sama kamu. Percaya sama kakak. Beberapa tahun lagi kalian pasti bertemu
kembali.”
“Hmm yasudahlah kak. Tapi, kalo boleh aku minta nomor telponnya di sana, bisa?”
“Hmm maaf Ga. Bukannya ga boleh. Tapi kakak harap kamu ngerti kalo Dyan ke sana
untuk fokus belajar. Jadi untuk sementara ini Dyan tidak bisa dihubungi.” Ucap
Aila yang tentu saja dengan sedikit bumbu kebohongan.
“Iya kak aku ngerti.” Balas Dirga lemas. “Aku pamit dulu kak. Oh iya ini
bunganya buat kakak saja maaf rangkaiannya udah kurang rapi.” Pamit Dirga
sembari memberikan seikat bunga yang sempat terjatuh tadi.
***
#Dirga
Tiga
tahun tlah berlalu.. Kemana senyum indah itu? Kemana tawa yang selalu memaksaku
untuk ikut tertawa bersamamu?
Candamu, nasehatmu, wajahmu.. Aku merindukan semua itu
Merindukan kebersamaan kita.. Aku.. Aku menyayangimu Dyan..
Menyayangimu lebih dari sekedar sahabat.
Sampai saat ini, hati ini masih memuja dirimu..
Tak merasakah kau bahwa setiap kata-kata yang kurangkai itu tertuju padamu?
Hanya untukmu seorang, Dyan..
Aku memang lemah, terlalu takut untuk menerima kenyataan yang belum pasti
terjadi
Aku
pernah bilang padamu bahwa aku mulai mencintai seorang gadis
Seorang gadis yang memiliki senyum memukau, mata yang indah, seperti bidadari
Namun sulit untuk ku gapai
Karna dia itu KAMU! Kamu sahabatku!
Aku tahu, tak pantas untukku mencintaimu.
Aku hanya sahabatmu, dan sepertinya takdir sudah menetapkan sampai disitu
Tapi salahkah bila cinta ini menolak? Menolak takdir yang harusnya kuterima
Hati ini, raga ini, terus memaksa agar aku harus memiliki!
***
Hari ini hari kepulangan Dyan dari London, Inggris. Papa, Mama, dan Aila sedari
tadi telah menunggu kedatangan Dyan di rumah. Mereka tak sabar ingin melihat
penampilan putrinya yang tentu saja akan terlihat lebih dewasa dari 1 tahun
yang lalu saat mereka mengunjunginya di sana. Dyan sengaja tak ingin dijemput.
Dia hanya mengatakan akan tiba bersama seorang teman spesial yang harus ia
kenalkan pada keluarganya.
Suhu ‘khas’ Kota Khatulistiwa langsung menyapa kulit
putih seorang gadis cantik begitu ia keluar dari taksi yang membawanya dari
bandara Supadio. Bersama dengan seorang pria tampan yang menggandeng tangan dan
membantu membawakan kopernya, ia berjalan layaknya seorang model yang begitu
mempesona. Sudah lama rasanya ia tak melihat istana yang tinggal beberapa
langkah lagi akan dimasukinya itu. Istana tempatnya tumbuh bersama keluarga
tercinta. Istana yang menyimpan semua kenangan yang hingga sekarang masih
melekat diingatan. Namun, ada juga beberapa kenangan yang sengaja ia lupakan.
Bukan karena trauma, hanya saja ia tak ingin terus-terusan hidup dengan
dibayangi masa lalu yang menyakitkan.
“Papa.. Mama.. Kak Ailaa.. I’m coming..” serunya
dengan senyum yang mengembang begitu membuka pintu.
“Dyan..” Mama berdiri. Dyan langsung menghambur kepelukan mamanya. Dilanjutkan
dengan cipika-cipiki, lalu memeluk Papa dan Aila secara bergantian.
“Ehhm.” Terdengar deheman pelan dari seorang pemuda yang tengah berdiri di
depan pintu. Menyaksikan sang gadis, kekasihnya, menguapkan rasa rindu pada
keluarga.
Dyan berbalik. Menuju ke arah pemuda itu lalu menggandengnya mendekati Papa,
Mama, dan Aila yang sedang tersenyum ramah, tapi juga diselingi seyum jahil.
“Pa, Ma, Kak, kenalin ini Ray. Dia hmm pacar Dyan.” Pipinya memerah saat
menyebutkan kata ‘pacar’. “Dia orang Balikpapan, temen Dyan kuliah.”
“Saya Rayka Dwinara, panggil saja saya Ray.” Ucap Ray –kekasih Dyan- ramah
sembari menyalami satu-persatu anggota keluarga Dyan.
Ray, seorang pemuda yang humoris, sepertinya akan cepat akrab dengan keluarga
Dyan. Apalagi keluarganya memberikan ‘sinyal positif’ mengenai hubungan mereka.
***
Ting tong...
Bel rumah berbunyi tepat saat keluarga Dyan, Dyan,
dan tentunya Ray sedang berada di halaman belakang. Tengah menikmati teh dan
makanan ringan sambil mengobrol. Bi Inah, pembantu rumah Dyan lah yang membuka
pintu.
“Eh nak Dirga. Sudah lama tidak melihat nak Dirga.”
“Iya Bi, Dirga sibuk ngurusin tugas kuliah sama bikin novel.”
“Wah, bibi pernah baca loh novelnya nak Dirga. Keren.. foto nak Dirga di sampul
belakang novelnya juga lawaarr..”
“Yah bibi bisa aja, itu biasa aja bi.” Jawab Dirga sambil tersenyum.
“Eh iya sih nak Dirga kan emang udah lawar
dari lahir haha. Oh iya bibi lupa. Maaf, silahkan masuk. Pasti mau ketemu sama
mbak Dyan ya?”
“Hehe iya Bi. Bibi tau aja. Kemarin kak Aila sms katanya Dyan akan tiba hari
ini makanya saya ke sini.”
“Ciyee.. kangen ya sama mbak Dyan?” Dirga hanya membalas dengan senyuman. Tanpa
disadari, semburat merah tercetak jelas di pipinya yang putih. Bi Inah hanya
senyum-senyum jahil. ‘Dasar anak muda maskaran eh kasmaran’ pikirnya.
Bi Inah mempersilahkan Dirga duduk di ruang tamu.
“Mbak Dyan nya lagi di halaman belakang. Nak Dirga
mau menyusul atau menunggu di sini saja biar Mbak Dyan nya bibi yang
panggilin?”
“Hmm.. Biar saya saja yang ke sana. Sekalian mau ngasi kejutan buat Dyan.”
Dirga tersenyum lalu berjalan menuju halaman belakang. Hatinya tak berhenti
berdegup kencang. Dia penasaran bagaimana penampilan Dyan sekarang. Tambah
cantikkah? Ah itu sih pasti. Tangannya merogoh saku, mencari sekotak hadiah
yang akan menjadi simbol pengakuan cintanya malam ini. Hal ini telah
dipersiapkannya sejak lama. Kali ini dia tak akan menjadi seorang Dirga yang
pengecut lagi. Sudah lama ia menanti-nanti kesempatan ini. Hari ini, tepatnya malam
ini, semuanya akan jelas. Rahasianya akan terbongkar.
‘Segala
sesuatu kadang tak terjadi sesuai dengan harapan. Jika takdir sudah menentukan
jalannya, tak akan ada yang bisa merubahnya.’
Tinggal selangkah lagi, saat menuju pintu yang
membatasi dapur dengan halaman belakang, tiba-tiba pintu itu terbuka. Ternyata
Dyan! Dia hendak mengambil minuman di lemari es. Sama seperti Dirga, Dyan tak
kalah kagetnya. Oh Tuhan.. sudah berapa lama ia tak berjumpa dengan sahabat
yang pernah menguasai hatinya itu. Dirga maupun Dyan saling menatap tanpa
mengucap sepatah katapun. Ingin sekali Dirga langsung mendekap tubuh sang
pemilik hatinya. Tapi tubuhnya kaku. Tak mampu bergerak apalagi berbicara
saking gugupnya. Dyan cantik sekali! Darahnya mendesir deras dipacu sang jantung
yang semakin berdegup kencang. Barulah beberapa menit kemudian, saat ia dan
Dyan mulai menguasai diri, keduanya mulai membuka suara.
“Dyan..” “Dirga..” keduanya bicara bersamaan. Dirga
menggaruk tengkuknya. Canggung sekali bicara dengan seseorang yang sudah lama
tak bertatap muka. Apalagi seseorang itu adalah orang yang dicinta.
“Hmm Dirga, apa kabar?” Dyan tersenyum manis. Tanpa
sadar senyuman itu membuat Dirga kembali terpesona.
“Hmm aku.. aku baik, kamu gimana?” balasnya dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
Gugup.
“Aku juga baik. Sudah lama yaa.. jadi canggung gini hehe.”
“Hmm iya Yan, sudah 3 tahun kita ga ketemu.”
“Iya lama..” ‘untunglah 3 tahun itu cukup untukku menghapus perasaan itu, Ga.’
Sambung Dyan dalam hati. “Oh iya ayo ke halaman belakang. Papa, Mama, dan
Kak Aila juga ada di sana. Sekalian ada
yang ingin ku kenalkan.” Dyan menggandeng tangan sahabatnya. Dirga yang mulanya
kaget, mencoba biasa saja dengan perlakuan Dyan. Tapi hatinya tetap tak bisa
dibohongi. Dia tentu saja senang sekali!
Begitu di halaman belakang, Dirga disambut ramah
–seperti biasa- oleh keluarga Dyan, tak terkecuali seorang pemuda yang tadinya
tengah mengobrol bersama Aila. ‘Mungkin itu pacarnya Aila’ pikir Dirga.
Setelah menyalami Papa dan Mama Dyan, Dyan mengajak
Dirga berkenalan dengan pemuda tadi.
“Ray, sini. Kenalan dulu sama Dirga.” Ucap Dyan manis yang dibalas dengan
senyuman yang tak kalah manisnya oleh Ray. Ray menghampiri Dirga yang berdiri
di samping Dyan.
“Ray, ini Dirga Prasetya, sahabatku.”
“Oh jadi ini sahabat yang selalu kamu ceritakan padaku dulu?” tanya Ray dengan
nada menggoda sambil mengedipkan sebelah matanya. Dyan yang merasa malu
menginjak pelan kaki kekasihnya itu. Awas saja kalau Ray berani bilang bahwa
Dyan dulu pernah menyimpan rasa pada Dirga. Ya dulu.. karna sekarang hatinya
hanya milik Ray seorang.
“Ehmm” Dyan tak menggubris pertanyaan Ray yang sudah
jelas tanpa ia jawab pun Ray telah mengetahuinya. “Jangan dengerin omongan Ray,
Ga. Oh iya Dirga, si rambut landak ini Ray. Rayka Dwinara.” Ray dan Dirga
berjabat tangan.
“Jangan dengerin nenek sihir ini, Ga. Masa gaya
rambut keren gini dibilang rambut landak, ya ga, Ga? Haha.” Ray mengacak pelan
rambut Dyan. Dyan memasang wajah cemberut. Dirga yang masih belum mengetahui
hubungan kedua insan itu ikut hanyut dalam candaan Ray. Namun, walaupun
wajahnya tertawa, hatinya tidak! Hatinya cemburu melihat Dyan dekat sekali
dengan pemuda itu.
“Udah becandanya. Ayo kita makan malam dulu.” Ajak
papa Dyan. “Oh iya Ray, kamu nginap di sini saja malam ini. Besok-besok saja
baru cari hotel.”
“Eh iya om, kalo tidak merepotkan sih boleh saja. Apalagi kalo boleh sekamar
sama anak om yang cerewet ini.” Canda Ray yang disambut jitakan Dyan di
kepalanya.
“Enak aja. Nikahin dulu kalo mau sekamar.” Dyan memeletkan lidahnya. Dirga yang
sedari tadi menyaksikan kedua orang itu mulai merasa ada yang tidak beres.
Hatinya sekarang benar-benar terbakar api cemburu. Sebenarnya apa hubungan Dyan
dan Ray? Hatinya terus bertanya.
“Yaelaah.. Mentang-mentang bentar lagi tunangan udah
mulai ngomongin kamar.” Celetuk Aila. Ray dan Dyan terdiam dengan semburat
merah di pipi masing-masing. Berbeda dengan Dirga yang mulai paham apa maksud
Aila. Bagai tersambar petir, hatinya sakit! Pedih! mengetahui kenyataan bahwa
sang pujaan hati tlah dimiliki orang lain membuat hati bahkan tubuhnya seakan
hancur berkeping-keping. Inikah akhir dari semua ini? Haruskah rasa yang akan
disampaikannya malam ini tertunda atau bahkan tak perlu disampaikannya lagi?
Lututnya melemas. Jika tak ada Dyan dan keluarganya mungkin dia akan membiarkan
dirinya terjatuh begitu saja dilantai ubin keras itu. ‘aku harus kuat.. Ya aku
harus kuat’ ucapnya berkali-kali. Dalam hati tentunya.
Setelah beberpa menit akhirnya Dirga mulai bisa menguasai diri. Aliran darah
dan pacuan jantungnya mulai kembali normal. Tapi tidak dengan hatinya yang
sudah terlanjur hancur!
Dengan sekuat tenaga Dirga berusaha menyembunyikan raut sedihnya. Mencoba
menjadi seorang Dirga yang tegar. Setelah makan malam Dirga pun pamit pulang
dengan membawa cinta yang tak bisa tersampaikan. Ditambah lagi dengan rasa
sakit yang menyesakkan.
Tuhan telah menggariskan takdir bagi tiap umat-Nya.
Mungkin inilah yang terbaik untuk Dirga, Dyan, dan Ray. Takdir adalah ketetapan
yang tak mungkin bisa diubah oleh siapapun kecuali penentu takdir itu sendiri,
Tuhan. Dirga pasrah. Dia tak mungkin merebut Dyan dari Ray. Tidak! Dia memang
tak boleh melakukan itu, memisahkan kedua insan yang telah digariskan untuk
bersatu. Selama ini Dirga hanya mampu menjadi pengagum rahasia. Biarlah
perasaan itu ia simpan. Biarlah hanya dia dan Tuhan yang tahu. Dirga percaya,
suatu saat nanti pasti ada seseorang yang telah digariskan untuk bersamanya
hadir dalam kehidupannya. Seperti Ray yang telah hadir dalam kehidupan Dyan.
Cinta telah mengajarkan satu hal lagi pada mereka.
PENGORBANAN. Pelajaran yang sangat berharga bagi mereka, bagi semua insan yang
pernah merasakan jatuh cinta. Bagaimana cinta mengajarkan harus berkorban demi
seseorang yang disayang, dan dengan cinta juga seseorang belajar bahwa tak
selamanya cinta harus memiliki. Semua sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa,
penguasa hati setiap insan.
===TAMAT===
Secret Admirer
4/
5
Oleh
Mastermind
4 comments
Ciye :3
ReplyIni toh ceritanya si Key
iya.. key a.k.a dessy :D
ReplyOm, ini template blognya bikin sendiri?
ReplyEgk.. Ini di desain oleh Kang Mousir. Ada tuh credit nya dibagian paling bawah blog :)
Reply