asmi.asia - “Teng..teng..teng..” bel istirahat berbunyi. Sebagian penghuni kelas XII IPA2 telah berhamburan keluar kelas, dan sisanya tetap memilih untuk berada di dalam kelas. Begitu pula Riri. Riri tetap tidak beranjak dari tempat duduknya. Ada sesuatu yang sedang dipikirkan gadis itu. Dia lalu melirik ke arah dua orang yang sedang asyik mengobrol, mereka adalah sahabat karibnya, Lira dan Redi, yang berada tidak jauh dari tempat duduknya. Riri mengambil secarik kertas di laci dan mulai menuliskan sesuatu.
Temui aku di tempat terlupakan dalam keheningan kabut tepat saat jam berbunyi seperti kereta api sore ini.
-Riri-
Riri melipat kertas itu sedemikian rupa lalu memberikannya pada seorang gadis yang sedang lewat. “Tolong kau berikan kertas ini pada Lira dan Redi. Terima kasih.”
Gadis itu tersenyum lalu beranjak menuju tempat duduk Lira dan memberikan kertas tadi. Dahi Lira terlihat berkerut ketika menerima kertas itu, begitu juga dengan Redi. Beberapa saat kemudian setelah membaca pesan dari Riri, mereka saling bertatapan, lalu secara bersamaan menatap ke arah Riri seraya menganggukkan kepala. Riri membalas anggukan mereka dengan tersenyum puas.
“Mereka memang selalu bisa diandalkan.” pikir Riri
***
Tepat pukul 14.02 tiga orang remaja tadi sudah berada di depan gedung kesenian di kompleks Kantor Bupati.
“Apakah pertemuan ini ada hubungannya dengan kasus baru?” tanya Redi tak sabar. Seperti biasa, Riri hanya tersenyum penuh misteri, ciri khas yang selalu diperlihatkannya jika sedang mendapat kasus baru.
“Sudah aku duga.” Lira tersenyum senang. “Tapi kenapa kamu memilih tempat ini untuk membicarakannya? Kenapa tidak di ruang pribadimu saja?” sambung Lira penasaran.
“Hmm... Seperti yang Redi katakan, aku memang membawa kasus baru untuk kita pecahkan. Sedangkan alasanku memilih bertemu kalian di sini karena kasus itu terjadi di sini 3 hari yang lalu.”
“Tiga hari yang lalu? Apa maksudmu..”
“Yups... Kasus kematian seorang remaja yang ditemukan tewas mengenaskan di bawah lampu jalan itu.” potong Riri sambil melihat ke arah salah satu lampu jalan.
“Tapi, bukannya kasus itu sudah berhasil diungkap polisi? Dan pemuda itu sudah dipastikan tewas karna over dosis sehabis menenggak minuman keras. Orangtuanya sampai malu setengah mati anaknya meninggal dalam keadaan mabuk seperti itu.” ujar Redi bingung kenapa Riri tertarik dengan kasus yang telah usai.
“Kamu memang benar, Red. Kasusnya memang sudah dianggap tuntas oleh polisi. Namun, aku masih merasa ada kejanggalan dalam kematiannya. Sebenarnya aku mengenal pemuda itu, namanya Satria Alfiansyah. Ia pacar teman SMP ku yang bernama Cantika, mungkin kalian tak mengenalnya. Nah.. Cantika ini menghubungiku kemarin, ia tahu kita bisa membantunya mengungkap kasus ini. Ada sesuatu yang diketahui Cantika tentang kematian Satria, yang pasti Satria bukan orang yang menyukai minuman keras, bahkan tak pernah menyentuhnya.” cerita Riri panjang lebar. Lira dan Redi hanya mendengarkan dengan serius.
“Tapi, bukankah bisa saja Satria sedang depresi berat lalu meminum minuman terlarang itu?” Lira menyela. Redi hanya mengangguk menyetujui pendapat Lira.
“Ya, awalnya aku juga berpikir demikian. Tapi, kalian masih ingat pamanku Uncle Mad kan?”
“Ya, tentu saja kami mengingatnya.” jawab Redi dan Lira kompak.
“Seorang detektif swasta yang pernah memecahkan kasus pembunuhan berantai yang sangat terkenal itu kan?” sambung Lira penuh antusias.
“Yups.. Kemarin, saat aku lari pagi sekalian melihat lokasi kejadian ini aku bertemu dengannya sedang mengumpulkan barang bukti. Dia diminta untuk menyelidiki kasus ini kembali karna pihak keluarga korban merasa kurang puas dengan hasil penyelidikan yang dilakukan polisi. Tapi sayang sekali semalam tiba-tiba ia ditelpon rekan kerjanya di Inggris untuk menyelidiki kasus yang lebih serius di sana. Jadi beliau meminta kita untuk menyelidiki lebih lanjut tentang kasus ini. Karena beliau yakin kita bisa diandalkan.”
“Tapi Ri, kita masih anak SMA. Tidak mungkin pihak-pihak yang berwenang mengizinkan kita untuk langsung mengecek ke lokasi kejadian ataupun sekedar meminta data keterangan tentang kematian korban. Tidakkah kamu lupa kejadian setahun yang lalu saat kita diusir begitu saja karna dituduh mengacau?” tanya Lira agak cemas. Seperti biasa, Redi hanya menanggapinya dengan sebuah anggukan kecil.
“Tentu saja aku masih ingat. Kalian tenang saja. Kita tidak perlu menyelidiki ke lokasi kejadian, tempat otopsi, ataupun meminta data langsung pada petugas polisi yang menyelidiki. Kan sudah aku katakan bahwa pamanku sudah mengadakan penyelidikan di sini kemarin. Jadi semua barang bukti dan data-data sudah dia berikan padaku. Kita hanya perlu menganalisis data dan mencocokkan barang bukti dengan orang yang dijadikan tersangka.” jelas Riri.
“So.. Let’s do it Dets!!” seru Lira sambil melayangkan tinjunya ke udara. Riri dan Redi tersenyum senang melihat tingkah Lira yang begitu bersemangat.
***
Pukul 19.30 WIB di rumah Riri. Setelah belajar dan menyelesaikan PR, Riri langsung menuju ke ruang pribadinya yang tersembunyi di balik lemari pakaian untuk kembali melihat dan memeriksa barang bukti yang Uncle Mad berikan kemarin.
“Hmm... Di data ini sepertinya ada yang aneh.” gumam Riri sambil memegang sebuah laporan. “Aku harus memperlihatkan hal ini pada Lira dan Redi besok.” lanjutnya. Lalu dia kembali meletakkan semuanya seperti sedia kala dan segera keluar dari ruang pribadinya itu.
***
Keesokan harinya, istirahat pertama pukul 10.00 WIB
Riri mengajak kedua sohibnya itu ke perpustakaan sekolah untuk berdiskusi, walaupun diikuti tatapan kesal dari Redi yang lupa sarapan pagi tadi.
“Ada apa, Ri ?? Aku lapar nih, tadi pagi lupa sarapan.” tanya Redi agak ketus.
“Sabar dong.. duduk dulu nih, cuma 5 menit aja kok.” bujuk Riri sambil mendudukan Redi di kursi perpustakaan. “Lira aja no comment.” sambungnya pelan, sehingga hanya Lira, yang duduk tepat di samping Riri, yang dapat mendengarnya. Lira menatapnya tersenyum.
“So, ada hal penting apa yang ingin kamu katakan pada kami, Ri?” tanya Lira penasaran. Redi mengangguk kecil, tetap dengan wajah yang ditekuk. Riri tersenyum penuh misteri.
“Begini, semalam aku memeriksa kembali barang bukti dan data yang diberikan Uncle Mad tentang kasus yang sedang kita coba pecahkan. Di salah satu halaman aku menemukan hal yang janggal. Mungkin hal itu luput dari pemeriksaan polisi kemarin. Di sana disebutkan bahwa minuman keras hanya ditemukan pada bagian mulut korban. Sedangkan pada bagian dalam organ lainnya, tidak ditemukan tanda-tanda adanya alkohol. Jadi, menurutku pendapat Cantika benar adanya. Satria memang tidak pernah menyentuh minuman berbahaya itu.”
“Jadi maksudmu, Satria memang dibunuh ? Trus kira-kira siapa saja yang kamu curigai?” tanya Redi penasaran. Dia sudah melupakan rasa laparnya.
“Hmm... Menurut laporan dan data yang ku dapat dari Uncle Mad, sudah ada 3 orang yang dicurigai. Semuanya merupakan personil bandnya Satria.”
“Band ?? Si Satria punya band?” tanya Lira ingin tahu.
“Ohh iya.. aku lupa memberitahu kalian. Satria itu gitaris sebuah band, namanya The Hole Band. Dalam band itu bergabung juga 3 orang lainnya, mereka adalah Siska Pratiwi sebagai vokalis, Ajun alias Derry Junstein sebagai drummer dan Jay alias Jainuddin sebagai pianis.”
“Ternyata Satria ini terbilang keren juga ya.” kagum Lira
“Ya, begitulah. Masing-masing dari anggota personil itu sudah ditanyai satu persatu.”
“Dan hasilnya?” tanya Redi tak sabar.
“Sabar dong Red! Aku kan belum selesai bicara.” sungut Riri agak kesal karna Redi memotong penjelasannya.
“Hehe, oke..oke.. maaf.. yaudah lanjutkan penjelasanmu.” jawab Redi cengengesan sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.
“Baiklah, hasil wawancaranya ku simpan di ruang pribadiku. Seperti yang ku katakan pada pertemuan pertama, kita akan menganalisis hasil wawancara itu. Jadi, nanti sekitar pukul 15.00 datanglah ke rumahku, kita harus menyelesaikan kasus ini secepat mungkin.” lanjut Riri.
“Baiklah. Lebih baik sekarang kita kembali ke kelas karna sekitar 5 menit lagi bel akan berbunyi.” jawab Redi. Lira yang biasanya bicara panjang lebar hanya mengangguk kecil.
***
Pukul 15.10 WIB di ruang pribadi Riri, Redi dan Lira sudah berada di sana. Mereka berdua melihat lihat barang bukti berupa gelang, botol minuman keras, dan bekas permen karet yang ditemukan di sekitar lokasi kejadian, serta file file penting yang tersusun rapi di meja bulat yang terbuat dari kaca itu.
“Coba kalian baca hasil rangkuman wawancara dengan beberapa orang tersangka ini.” Riri menyerahkan sebuah file dengan cover berwarna merah ke Redi. Redi dan Lira membaca laporan itu dengan mimik yang begitu serius. Di sana tertulis:
Siska Pratiwi (16), siswa kelas XII IPA 3 SMA TRIBUANA juga merupakan vokalis The Hole Band. Diselidiki Siska menaruh hati pada Satria sejak mereka duduk di kelas X hingga saat ini. Saat kejadian, Siska mengatakan dia sedang berada di toko kaset hingga sekitar pukul 21.00, setelah itu dia langsung pulang ke rumah. Dia sangat terkejut mengetahui kematian Satria. Bahkan, pagi-pagi sekali setelah mendapat kabar buruk itu, Siska dan kedua personil lainnya langsung datang ke tempat kejadian. Siska menangis hingga pingsan saat melihat jasad gitaris bandnya itu. Soal barang bukti yang ditemukan, Siska mengatakan bahwa gelang yang ditemukan itu adalah gelang milik Jay, sang pianis. Untuk bekas permen karet, biasanya Ajun yang suka memakan permen itu. Dan dia juga mengatakan kalau sempat melihat Ajun terlibat pembicaraan atau bisa dibilang bertengkar dengan Satria di depan tempat latihan band mereka pada sore hari sebelum kejadian.
Derry Junstein (17), biasa dipanggil Ajun, siswa kelas XII IPS SMA TRIBUANA yang merupakan drummer The Hole Band. Ajun dikenal sebagai orang yang agak sentimental, dan terkadang tidak segan segan melayangkan tinju pada orang yang membuatnya kesal.Pada saat kejadian, dia mengatakan sedang berada di warnet dekat rumahnya. Setelah dicek dengan menanyai penjaga warnet, ternyata dia memang benar berada di sana hingga sekitar pukul 20.30, (diperkirakan Satria sudah meninggal sekitar pukul 19.00-20.00 WIB). Namun, penjaga warnet mengatakan dia sempat melihat Ajun keluar dari warnet sekitar pukul 19.00 dan kembali pada pukul 19.40. Katanya, dia keluar hanya untuk membeli makanan di warung depan gang yang berjarak 2 km dari warnet. Karena pelanggan yang ingin membeli ramai, dia terpaksa menunggu hingga 30 menit di warung tersebut. Saat ditanya tentang barang bukti dan hal yang dibicarakan Ajun dengan Satria sebelum kejadian, dia menjawab kalau dia memang terlibat pembicaraan dengan Satria sore itu. “Kami hanya memperdebatkan tentang festival band daerah minggu depan. Satria ingin membatalkan penampilan band kami di festival itu karna acaranya bertepatan dengan pelaksanaan ulangan akhir semester. Tentu saja aku, yang merasa latihan band selama ini akan sia sia, menolak keputusan Satria. Soal permen karet itu, ya aku memang senang memakan permen karet. Tapi di sini kan tempat umum, bisa saja orang yang sedang lewat membuang permen karetnya sembarangan di sana.”
Jainuddin (17), biasa dipanggil Jay, siswa kelas XII IPA SMA TRIBUANA, merupakan pianis di The Hole Band. Jay dikenal sebagai orang yang agak tertutup, ramah, dan kutu buku. Saat ditanyai, dia hanya berkata dengan ekspresi datar : “Malam itu saya memang bersama Satria di tempat latihan band kami. Tapi saya di sana hanya sekitar 30 menit, sekitar pukul 19.00 WIB saya sudah meninggalkan tempat latihan dengan Satria yang masih bermain gitar di sana . Masalah gelang itu, itu memang gelang saya. Tapi, saya telah kehilangan gelang itu seminggu yang lalu.”
Setelah selesai membaca laporannya, Lira terduduk lemas di sofa. “Sepertinya kasus ini cukup sulit. Ketiga tersangka memang sangat mencurigakan.” ucapnya kesal.
“Ya, benar kata Lira. Semuanya mencurigakan dan seperti memiliki motif tersendiri untuk membunuh Satria. Yang pertama Siska, bisa saja dia sakit hati pada Satria karna tak bisa membalas perasaannya, dan merencanakan pembunuhan denga pemikiran “Jika dia tidak bisa memiliki Satria, maka tidak ada yang bisa memiliki Satria”. Dan yang ke...”
Belum sempat Redi melanjutkan analisanya, sebuah bantal tiba-tiba mendarat tepat di wajahnya. Ternyata Lira yang telah melempar bantal itu ke arahnya.
“Hahaha analisismu ngaco’, Red! Udah kayak sinetron aja.” Lira tertawa terbahak-bahak melihat wajah Redi yang memerah, entah itu karena terkena lemparan bantal dari Lira atau mungkin karena menahan marah bercampur malu dengan ucapan Lira yang terlihat mengejek dan seenaknya saja menyalahkan serta memotong analisisnya.
“Udah..udah.. jangan bercanda dulu. Kita harus segera menyelesaikan kasus ini. Ayo Redi lanjutkan analisismu.” sela Riri menengahi.
“Hehehe maaf Red, Ri, aku ga bermaksud.” kata Lira cengengesan.
“Hhhh baiklah, aku akan melanjutkannya.” kata Redi yang sudah mulai tenang. “Menurutku, tersangka kedua, Ajun, bisa saja dia ingin membunuh Satria karna merasa Satria seenaknya sendiri mengambil keputusan untuk bandnya. Seperti yang tertulis dilaporan, Ajun ini orangnya agak sentimental, dan itu bisa menjadi motif yang kuat untuk membunuh Satria. Sedangkan Jay, dia orang yang tertutup jadi bisa saja ia membunuh dengan alasan yang tersembunyi, mana kita tahu kan. Lalu masalah gelang Jay ini juga tidak bisa kita percaya begitu saja, yang tahu gelang itu hilang atau tidak ‘kan hanya Jay, bisa saja itu hanya alibinya untuk menutupi kesalahannya. Bagaimana ?” Redi meminta tanggapan dari kedua temannya.
Riri terlihat serius memikirkan hasil analisis Redi yang dirasanya masuk akal. “Tapi aku masih merasa ada yang harus kita ketahui, Red. Bagaimana jika kita sekarang ke rumah Cantika saja. Aku perlu tambahan informasi darinya.”
Lira dan Redi hanya mengangguk setuju dengan usulan Riri. Mereka pun beranjak dan pergi ke rumah Cantika dengan menggunakan kendaraan masing-masing.
***
Mereka sampai ke rumah Cantika 15 menit kemudian. Rumah itu terlihat rindang dengan tanaman disekitarnya. Mereka memarkir motor mereka di halaman rumah Cantika, dan mengucapkan salam kepada yang empunya rumah.
Tak lama, keluarlah seorang gadis seumuran mereka dengan rambut panjang hitam sebahu yang menggunakan celana pendek dan kaos oblong hitam. Gadis itu sangat manis dengan wajah oriental dan kulit putihnya. Dialah Cantika. Mereka duduk di beranda rumah dan mulai berbincang-bincang.
“Can, kita datang kesini ingin mengetahui informasi tentang kematian Satria yang kamu katakan padaku saat itu. Kami sudah menemukan beberapa hal yang mencurigakan, sekarang kami membutuhkan keterangan darimu.” terang Riri. Cantika terdiam untuk beberapa saat, terlihat menimbang-nimbang.
“Baiklah..” Cantika memulai. “Sehari sebelum Satria ditemukan meninggal, dia menghubungiku. Dia mengatakan sedang menemui seseorang, tapi dia tak menyebutkan siapa. Dia hanya berkata bahwa orang tersebut penting baginya dan ia harus menyelesaikannya sekarang juga. Pada saat itu, samar-samar aku mendengar suara, gabungan drum dan piano. Kupikir saat itu dia sedang bersama teman bandnya. Tapi pada saat memberi keterangan, mereka semua mengatakan bahwa mereka tidak bersamanya. Hal inilah yang menggangguku, menurutku ada diantara mereka yang bersamanya malam itu.” ungkap Cantika dengan wajah yang sedih, jelas ia merasa kehilangan cintanya.
“Jadi memang ada diantara mereka pelakunya.” Lira menyuarakan pikirannya.
“Mendengar ceritamu, Aku jadi ingin pergi ke tempat latihan bandnya. Kurasa tempat itu pantas untuk diselidiki. Bagaimana ?” kata Riri meminta pendapat teman-temannya.
“Aku juga berpikiran sama denganmu, Ri. Ehhm... Bagaimana jika kita pergi sekarang saja, Cantika juga ikut bersama. Kurasa lebih cepat lebih baik.” Redi menimpali pertanyaan Riri.
“Ya, benar, aku setuju dengan kalian.” Lira mengangguk kepada keduanya. “Cantika, apakah kau bisa menemani kami sekarang?” tanyanya pada Cantika yang sedari tadi mendengarkan.
“Baiklah, aku ganti baju sebentar. Kalian tunggulah dulu.” Cantika bergegas masuk ke dalam rumah dan muncul lagi dalam 5 menit. Dia kini mengenakan celana jins hitam panjang dan kemeja putih serta cardigan hitam lengkap dengan bando putih dikepalanya. Memang cantik.
Mereka meninggalkan rumah Cantika dan berkendara menuju lokasi studio tempat The Hole Band biasa latihan, tempatnya berada di daerah Senyawan.
***
Studio latihan, pukul 17.15 WIB
Saat mereka tiba, telah ada 3 buah motor terparkir di depan studio itu. Sepertinya hari ini ada latihan band. Mereka mengetuk pintu dan mendengar pintu terbuka. Muncullah Siska, ia yang membukakan pintu bagi mereka. Dia tampak sedikit terkejut melihat Cantika dan bingung melihat kehadiran Riri, Redi, dan juga Lira.
“Cantika ?! Kamu sedang apa disini ?” tanyanya terkejut.
“Izinkan aku dan teman-temanku masuk dulu ke dalam. Boleh?” pinta Cantika pelan.
“Yaa... Boleh, silahkan masuk. Kami kebetulan sedang latihan untuk festival. Kami memutuskan mengikutinya walaupun sedang ulangan.” terang Siska menjelaskan.
Mereka masuk dan menerima pandangan bertanya-tanya dari Ajun dan Jay yang jelas-jelas tak mengerti maksud kedatangan mereka.
***
Begitu memasuki studio, mata Lira, Redi dan Riri sudah berkeliling mengamati ruangan itu. Ada beberapa instrument musik dan beberapa alat pelengkap lainnya. Ruangan ini kedap suara agar tidak mengganggu orang saat ada latihan. Sekarang barulah mereka bertemu secara langsung dengan para tersangka yang mereka curigai. Siska yang terkejut tadi, Ajun yang sepertinya kesal karena latihannya terganggu, dan Jay yang diam saja, tidak menunjukkan ekspresi tertarik.
“Ehem.. Cantika, kenapa kau kemari ? Kami sekarang sedang sibuk.” Ajun membuka pembicaraan dengan nada ketus.
“Aku menemani mereka.” Cantika menjawab singkat.
“Memang mereka siapa?” tanya Siska akhirnya, setelah beberapa saat memperhatikan ketiga sahabat itu.
“Ini Redi dan Lira.” Cantika menunjuk Redi dan Lira. “Dan ini Riri.” jelasnya memperkenalkan mereka. “Mereka temanku, aku meminta mereka menyelidiki kematian Satria.” terang Cantika.
Jay yang semula tak berekspresi mendadak terlihat gugup. Hal itu tidak luput dari pengamatan Riri.
“Kau masih belum ikhlas, ya? Kan polisi sudah menyelesaikan kasus Satria.” ujar Ajun yang terlihat tidak senang
“Aku merasa masih ada kejanggalan. Makanya aku meminta tolong pada mereka, mereka bisa membantuku dalam menyelidikinya.”
“Terserah !!” Ajun sudah telihat emosi. “Tapi jangan ganggu latihan kami dong! Kami sibuk sekarang. Lagi pula untuk apa menyelidi kemari. Mengganggu !!”
“Karena kami menduga disinilah Satria dibunuh.” Redi mengungkapkan pikirannya. Riri dan Lira mengangguk, sependapat. Sementara yang lainnya terlihat terkejut.
“Apa ? Dibunuh ? Disini ? Ngaco’ !!” ujar Ajun marah. “Jangan menyimpulkan sembarangan, tidak mungkin Satria dibunuh, dia mati karena alkohol. Dan disini ? Mana mungkin !!”
“Mungkin, bahkan sangat mungkin. Mengapa kau terlihat tidak ingin menerimanya, mungkinkah kau pelakunya?” Riri angkat bicara. Otak detektifnya tengah bekerja. Dia mencoba menganalisa.
“APA?! KAU MENUDUHKU HA ?!” Ajun sangat marah mendengar kata-kata Riri
Riri tetap tenang. “Tidak, aku kan hanya bertanya. Munginkah?”
“JANGAN MAIN-MAIN YA ! AKU TIDAK AKAN MEMBUNUHNYA ! TIDAK PENTING !” Ajun mengelak, masih dengan amarah yang menggebu.
“Bagaiman denganmu Siska? Mungkinkah jika itu dirimu?” Riri mengalihkan perhatiannya kepada Siska yang terlihat tegang.
“M-mana mungkin.. aku-aku menyayanginya, jadi mana mungkin aku membunuhnya. K-kau jangan main tuduh ya.” Siska terlihat gugup dan tegang.
“Tapi itu bisa jadi alasan juga. Kau membunuh Satria karena tidak rela ia jadi milik Cantika, itu mungkin.” Lira yang menjawab. Ia jelas tak mau ketinggalan.
“A-aku tidak akan tega..” Mata Siska mulai berkaca-kaca. “Aku memang tidak rela, tapi aku tidak akan tega.” katanya, tangisnya pun pecah. Cantika mendekat dan memeluknya.
“Lalu bagaimana denganmu Jay? Mungkinkah itu kau?” Redi bertanya kepada Jay. Jay seperti baru tersadar dari lamunan, kaget karena diajak bicara.
“Aku tak membunuhnya. Untuk apa membunuhnya, tak ada gunanya.” Ucapnya datar.
Riri yang sedari tadi berkeliling ruangan sambil mendengarkan jawaban demi jawaban berhenti sebentar untuk mengamati sesuatu. Jantungnya berdenyut lebih cepat, ia berhasil menemukan pelakunya. Ia lalu berbalik dan bicara. “ Ya ! Cukup pertanyaannya. Aku tau siapa pelakunya.” ucapnya sembari tersenyum. Semua wajah diruangan itu menatap Riri, penasaran sekaligus terkejut dengan apa yang diucapkannya.
***
“Siapa ?” Cantika yang pertama kali buka suara. Penasaran sekaligus terguncang. Kenyataan bahwa kekasihnya benar dibunuh sungguh mengguncang perasaannya.
“Yang pasti ada diantara kita saat ini, diantara kalian bertiga.” ujar Riri memulai. “Jangan dulu berbicara, dengarkan saja.” katanya ketika melihat Ajun sudah siap buka mulut.
“Pertama aku akan memulai dari barang bukti. Barang bukti yang ditemukan disekitar korban adalah botol minuman, gelang dan permen karet. Gelang itu adalah gelang milik Jay. Tapi sudah hilang beberapa hari sebelumnya. Benar ?” tanya Riri pada Jay. Jay mengangguk.
“Permen karet, itu mengarah kepadamu Ajun. tapi seperti katamu, itu adalah tempat umum jadi wajar saja itu ada disana. Lalu botol minuman alkohol, inilah yang membuat polisi memutuskan kematiannya karena alkohol, over dosis.” terangnya. “ Tapi hasil tesnya menunjukkan keanehan, akohol hanya ditemukan didaerah mulutnya, tidak di dalam organ lainnya. Lalu Cantika mengatakan bahwa Satria menemui seseorang malam itu, disini.”
“Bagaimana kau tahu ia kesini?” tanya Siska.
“Suara, Cantika mendengar suara piano dan drum. Itu artinya disini. Karena Satria tentu hanya berkumpul untuk latihan disini.” jelasnya.
“Jadi, sudah ketahuan siapa pelakunya?” tanya Ajun tak sabaran. Agak gugup.
“Sebentar.. ada yang belum kukatakan.” Riri berjalan mendekati piano, dibawah kaki piano. “Kalian lihat, disini terlihat lebih gelap bukan, karpet ini?” katanya.
Mata-mata itu memandang ke satu titik, memang karpet itu terlihat sedikit gelap warnanya. “Ini adalah bekas Alkohol.” lanjutnya. Mereka serta-merta menarik nafas dalam, terkejut.
“Berdasarkan penyelidikanku dan kedua temanku beberapa hari terakhir ini, kami berhasil mendapatkan informasi bahwa sebenarnya malam itu ada 3 orang disini. Ajun, Jay dan Satria. Tapi, Jay dan Ajun tidak hadir secara bersamaan. Jaylah yang pertama meninggalkan tempat latihan. Kedatangan Ajun setelah itu juga mungkin tidak diketahui oleh Jay. Menurut penduduk sekitar, ada yang melihat Ajun datang ke tempat latihan dengan membawa minuman. Ia mungkin minum-minum di sini, tentu saja bersama Satria.” Riri menghela nafas, lalu melanjutkan hasil penyelidikannya.
“Satria menemaninya malam itu, tapi ia tak minum. Hanya menemani dengan berpura-pura minum. Dia seperti menenggak minuman, tapi hanya dikulum dimulut, tak diminumnya. Satria punya kebiasaan minum dari gelas, makanya disini Satria punya gelas khusus. Benarkan ?” tanyanya. “Ya.” jawab Cantika sambil menunjuk sebuah gelas keramik bertuliskan S.
“Seseorang telah mengoleskan racun digelas itu. Satria yang tidak mengetahuinya menuangkan sedikit alkohol ke dalamnya. Lalu meminumnya dan ambruk sesaat setelahnya. Tewas.” Riri memegang gelas itu, lalu menyemprotkan sesuatu di tepi gelas. Cantika dan Siska menegang. Tepian gelas itu berubah warna, menunjukkan bahwa ditepi gelas itu telah dioleskan racun.
“Ajun yang saat itu setengah mabuk, mencoba membangunkannya. Tapi sia-sia, Satria sudah tiada. Ajun kalut karena takut akan disalahkan, maka ia memutuskan membawa jasadnya ke tempat lain. Dengan membawa serta alkoholnya. Dia meletakkannya di tempat dimana Satria ditemukan pagi harinya. Sebenarnya, Ajun cukup lama di tempat itu. Karena ia masih sempat menghabiskan minumannya disana dan tanpa sadar membuang bekas permen karetnya.” Semua menarik nafas. Dalam.
“Tapi, pembunuhnya jelas bukan Ajun. Kaulah pembunuhnya, Jay.” Semua tersentak dan menatap Jay.
“B-benarkah itu?” tanya Cantika, meminta penjelasan. Jay hanya diam membisu.
“Dialah yang menaruh racun di gelas itu, sebelum dia pergi.” tambah Riri
“Jay, jawab !! Benarkah itu kau?” tanya Cantika, terlihat frustasi. Jay mengangguk perlahan. Tangis Cantika pecah diikuti tangisan Siska. Ajun maju mendekati Jay, “Kenapa kau lakukan itu? KENAPA ?!” tangannya telah menarik kerah baju Jay. Redi turun tangan mengamankannya.
“Aku tak mau dia membongkar rahasiaku. Aku takut padanya. Dia sering mengancamku akan membongkar rahasiaku jika aku tak menurutinya.” kata Jay akhirnya. “Aku adalah seorang pengguna narkoba, dia tahu sekitar 3 bulan lalu. Dia memerasku, memintaku membantunya secara paksa. Aku takut padanya. Dia bahkan mengambil gelangku, gelang pemberian mendiang kakakku.” Jay menarik napas.
“Tapi kenapa sampai kau bunuh?” Cantika bertanya dengan berurai air mata. Jay hanya menunduk. Terlihat jelas raut penyesalan di wajahnya.
Kasus itu pun usai. Jay menyerahkan diri kepada polisi dan mengakui perbuatannya, ia juga mengakui penggunaan obat terlarang yang dilakukannya.
***
“Terima kasih ya, karena telah menyelesaikan kasus ini. Walaupun aku menyesal tentang sikap Satria yang memeras temannya sendiri, kuharap ia sekarang dapat tenang di alam sana.” ujar Cantika kepada ketiga sahabat itu saat bertemu 2 hari kemudian.
“Ya.. kuharap juga begitu.” kata Lira menimpali.
“Tapi aku masih penasaran, Ri. Bagaimana kau tahu itu Jay, tidak ada bukti yang mengarah padanya?” tanya Redi dengan ekspresi penasaran.
“Ohh.. itu karena gelang. Tanpa sepengetahuan kalian, aku memeriksa tas Jay saat mengelilingi ruang latihan itu. Aku menemukan sebuah foto. Difoto itu ada Jay yang masih kecil dan seorang perempuan usia 18 tahunan. Gadis itulah yang mengenakan gelang yang jadi barang bukti itu. Lalu ada tulisan “My Lovely Sister, hope you happy in heaven” di figura fotonya. Selain itu, sikap Jay yang terlihat gugup saat kita mengatakan Satria dibunuh, serta alibinya yang terbilang sangat sederhana dan singkat itu jugalah yang membuatku mencurigainya.” terang Riri.
“Ternyata begitu.. karena gelang toh.” Raut paham nampak diwajah Redi.
Mereka tertawa bersama melihat wajah Redi yang lucu saat sudah memahami sesuatu.
_ TAMAT _
Ini cerpen buat tugas bahasa Indonsia bkn aku sndri tp 3 orng yg bikin :3, Aku, Dian, and Ardi.. udh dkumpulin klo ga slah sbulan yg llu xD ceritany agak gaje dan bnyk kkurangn maklum ngejar deadline (?) :v
Misteri Terbunuhnya Satria
4/
5
Oleh
Mastermind